Aimai Hyougen: Ambiguitas dalam Komunikasi Masyarakat Jepang

Jumat, 3 November 2023 12:58 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Osaka City
Iklan

Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak lepas dari komunikasi terhadap sesama. Dalam hal komunikasi, masyarakat Jepang dinilai memiliki ciri khas. Ciri khas tersebut yaitu ambiguitas, atau disebut sebagai aimai hyougen yang berarti ungkapan samar.

Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak lepas dari komunikasi terhadap sesama. Dalam hal komunikasi, masyarakat Jepang dinilai memiliki ciri khas. Ciri khas tersebut yaitu ambiguitas, atau disebut sebagai aimai hyougen yang berarti ungkapan samar. Konsep aimai didefinisikan sebagai keadaan dimana terdapat lebih dari satu makna yang dimaksudkan sehingga menciptakan ketidakjelasan dan ketidakpastian menurut Davies (2002: 9).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang Jepang umumnya toleran terhadap ambiguitas sehingga dianggap oleh banyak orang sebagai ciri khas budaya Jepang. Meskipun orang Jepang tidak menyadari aimai, penggunaannya dianggap sebagai bentuk kebajikan di Jepang. Mengekspresikan diri secara ambigu dan tidak langsung merupakan hal biasa di Jepang, karena mengekspresikan perasaan secara langsung dianggap tidak sopan dan dianggap seperti ‘anak kecil’.

Karena ambiguitas tersebut, orang Jepang tidak biasa atau tidak bisa mengatakan ‘tidak’ secara langsung. Oleh karena itu konsep aimai digunakan untuk menjaga harmoni dalam masyarakat Jepang. Orang Jepang memiliki rasa solidaritas yang tinggi sehingga menciptakan konsep ‘wa’ yang berarti perdamaian. Konsep tersebut menjunjung tinggi kepentingan bersama daripada kepentingan individu.

Sejarah

Konsep aimai muncul karena pengaruh geografis Jepang, atau bisa disebut determinisme geografis. Jepang berada di antara samudera pasifik dan laut Jepang, yang membuatnya terpisah dari benua asia. Oleh karena itu budaya Jepang dapat berkembang secara terisolasi dan bebas dari invasi budaya lain. Jepang juga negara pegunungan yang menyebabkan tidak adanya banyak lahan untuk dihuni. Oleh karena itu, masyarakat Jepang harus hidup berdampingan dan berdekatan dalam suatu komunitas dimana semua orang merasa nyaman.

Iklim juga mempengaruhi karakter orang Jepang. Pada saat musim panas dan hujan, mereka menanam beras lalu gotong royong antar sesama. Dengan sikap gotong royong tersebut, mereka dapat memproduksi beras secara maksimal pada lahan yang terbatas. Hal-hal tersebut lah yang membuat masyarakat Jepang menghindari konflik dan lebih memilih menjaga harmoni demi kenyamanan hidup dan kepentingan bersama.

Contoh dan Perbandingan di Indonesia

Terdapat beberapa contoh kata penggunaan Aimai Hyougen, yaitu:

  • Chotto (ちょっと)

Secara harfiah chotto berarti ‘sebentar, sekejap, sedikit’. Kata tersebut biasa digunakan untuk menolak secara halus. Misal, kita diajak untuk pergi nonton bioskop pada esok hari, namun kita tidak bisa memenuhi ajakan tersebut. Maka kita menolak ajakan tersebut dengan mengucapkan “ashita wa chotto…” yang berarti ‘besok saya agak….’ Pada kalimat tersebut tidak menunjukkan penolakan secara gambling, namun hanya mengungkapkan ketidakbisaan secara tersirat dan lawan bicara harus mengerti dan peka mengenai penolakan halus tersebut.

  • Saa (さあ)

Saa secara harfiah berarti ‘mari, ayo, nah’. Dalam percakapan, saa dapat digunakan untuk mengungkapkan ketidaktahuan pembicara. Saa sering digunakan dengan atau tanpa kata wakarimasen (わかりません) ‘saya tidak mengerti’ dan shirimasen (知りません) ‘saya tidak tahu.’ Contoh ketika ada seseorang yang bertanya mengenai kacamatanya yang hilang, lalu kita tidak tahu pasti mengenai posisi kacamata tersebut. Lalu kita merespon dengan “Saa…” yang dapat diartikan ‘hmm’. Jawaban tersebut menunjukkan bahwa kita tidak tahu dan masih berpikir di mana letak pasti kacamata tersebut. Dari contoh kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa kita menghindari menjawab secara negative dan mengucapkan “saa…” dengan nada menggantung sebagai bentuk ketidaktahuan.

  • Demo (でも)

Demo secara harfiah berarti ‘tetapi’. Dalam penggunaannya, demo digunakan untuk menyampaikan pertentangan terhadap suatu hal yang sulit diungkapkan. Contoh ketika ada seseorang yang memberi saran untuk kuliah di universitas A, karena universitas A dinilai bagus dan dekat dari rumah. Namun, jurusan yang ingin kita ambil tidak ada di universitas A sehingga kita ingin kuliah di universitas B yang lebih jauh. Lalu kita menanggapi saran tersebut dengan “Demo, watashi B daigaku ni…” yang berarti ‘tapi, di universitas B….’ Dari jawaban tersebut terlihat bahwa kita tidak ingin menyanggah langsung saran dari orang lain. Pada situasi ini, lawan bicara harus peka dan mengerti bahwa universitas B lah yang ingin kita tuju.

  • Muzukashii (難しい)

Secara harfiah, muzukashii berarti ‘susah, sukar, rewel.’ Namun pada percakapan sehari-hari, kata tersebut memiliki makna lain yaitu digunakan untuk menolak. Contoh ketika kita diminta untuk mengepel ruang kelas sendirian sampai jam 5 sore.  Lalu kita menjawab dengan “muzukashii to omou” yang berarti ‘saya rasa sulit’. Dari jawaban tersebut bisa disimpulkan bahwa sulit yang dikatakan berarti sulit untuk dilakukan, sehingga terdapat makna tersirat penolakan. Entah karena ruang kelas yang terlalu luas sehingga butuh waktu mengepel lebih lama atau tidak mau terlalu lelah karena harus mengepel ruang kelas sendiri, lawan bicara harus dapat menangkap penolakan halus tersebut.

  • Ii desu (いいです)

Secara harfiah ii(いい)berarti ‘baik, bagus’; sedangkan desu( で す ) merupakan kopula dalam linguistik bahasa Jepang merupakan jodoushi ( 助 動 詞 ) ‘kata kerja bantu’. Dalam penggunaannya ungkapan ini memiliki macam variasi seperti ii, ii desuyo, ii yo, dan lain-lain. Kata tersebut memiliki makna yang beragam tergantung konteks, nada, ekspresi, dan gesture tubuh yang diungkapkan si pembicara. Contoh ketika kita meminta seseorang untuk membuka jendela. Lalu orang tersebut menjawab “ii desu yo” perlu kita lihat dari gesture, nada, dan ekspresi orang tersebut apakah orang tersebut menolak atau bersedia. Biasanya, jika nada naik di akhir kalimat maka berarti penerimaan, namun jika nada turun ke bawah, maka berarti penolakan.

 

Di Indonesia sendiri sebenarnya juga ada kata ambigu seperti aimai hyogen yang digunakan untuk menolak. Kata tersebut seperti Insyaa Allah dan lihat nanti. Insyaa Allah secara harfiah berarti ‘jika Allah menghendaki’. Kata ‘Insyaa Allah’ dan ‘lihat nanti’sering digunakan masyarakat Indonesia untuk menolak atau memberikan jawaban ambigu secara halus dalam menanggapi suatu ajakan.

Jepang Dalam Konteks Budaya Tinggi

Terdapat dua konsep komunikasi di dunia menurut Hall yaitu budaya konteks rendah (low context culture) dan budaya konteks tinggi (high contet culture). Budaya konteks rendah memiliki konsep komunikasi yang bersifat eksplisit, langsung, dan mudah dipahami. Sedangkan, budaya konteks tinggi memiliki konsep komunikasi yang bersifat implisit, tak langsung, dan tak mudah dipahami.

Jepang termasuk salah satu negara dengan budaya konteks tinggi. Tidak hanya aimai, tetapi juga ada istilah-istilah lain seperti KY atau kuuki yomenai, ishin denshin, amae, serta haragei yang digunakan dalam berkomunikasi baik dengan masyarakat Jepang itu sendiri maupun dengan dunia global. Tidak mengherankan jika Jepang menjadi negara dengan budaya konteks tertinggi.

Oleh karena itu, materi aimai selalu diajarkan dalam pembelajaran bahasa Jepang kepada penutur asing. Demi menghindari kesalahpahaman dan kebingungan orang asing ketika berkomunikasi langsung dengan orang Jepang.

Daftar Pustaka

Ratna, M. P. (2019). AIMAI HYOUGEN SEBAGAI CERMINAN KOMUNIKASI JEPANG. Volume 8 No 1, 20-25.

Roger J. Davies dan Osamu Ikeno (ed). 2002. The Japanese Mind. US: Tutle Publishing.

Hall. Edward T. (1989). The Hidden Dimension. New York: Doubleday.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Alya Briliana

Mahasiswa Studi Kejepangan - Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Airlangga

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler